Perempuan
Perempuan
adalah bagaikan permata diantara gurun pasir. Tapi masih pantaskah seorang
perempuan yang tidak lagi mempunyai apa yang seharusnya menjadi kodratnya masih
disebut perempuan? Menyakitkan. Dan hal inilah yang aku alami saat ini. Dua tahun
pernikahanku dengan suamiku mas Widi belum juga kami dikaruniai tangisan bayi
yang lahir dari rahimku. Awalnya aku dan suamiku tak ambil pusing dengan hal
ini, karena mungkin Allah memang belum memberiku kepercayaan untukku dan
suamiku, walau aku begitu mendambakan tangisan bayi dalam kehidupan rumah
tanggaku. Tapi belakangan aku merasa menstruasi yang aku alami tak seperti
wajarnya, rasanya sangat sakit yang ku rasa. Namun bukan kesembuhan yang
kudapat tetapi ini semua ini bagaikan sambaran petir dicerahnya hari. Kanker
rahim telah menghuni rahim seorang istri yang mengharuskannya diangkat, sungguh
inilah kenyataan yang paling menyakitkan.
“Dan aku tak mau kehilangan istriku
belahan jiwaku, itu jalan satu-satunya Aina agar kamu bisa hidup normal lagi.”
Hidup normal? Tanpa rahim?. Aku bangkit dan berdiri segara ku lepas pelukannya.
“Hidup normal? Seorang perempuan
hidup tanpa rahim itu yang namanya normal? Demi Allah mas aku tidak sanggup.”
“Aku mohon Ai....... .” Belum sempat
kalimatnya selesai terucap aku segera memotongnya.
“Ini harga diri mas.... harga diri sebagai seorang
perempuan” kaki ini rasanya sudah lemas dengan hujaman air mata yang terus
mengalir.”Aku gak mau hidup tanpa rahim, dan bila itu terjadi aku akan
kehilangan kodratku yang utuh sebagai seorang wanita telah hilang karena aku
tak bisa mengandung dan melahirkan, lebih baik aku mati tapi aku masih menjadi
perempuan yang masih utuh dengan apa yang menjadi kodratnya.”Dalam
hatiku terus saja diliputi rasa sedih seharian itu. Sempat terlintas dalam
pikiran picikku, Allah tak adil kepadaku. Kenapa harus aku yang merasakannya,
aku belum sempat meneguk kebahagiaan menjadi wanita seutuhnya rahim ini sudah
tak berfungsi lagi. Sangat menyakitkan. Tak terasa pipi ini telah basah seakan
air mata beradu untuk keluar dari mata ini. Angin sore yang biasanya
menghiburku kini tak ada daya lagi, berlalu begitu saja hembusanya yang syahdu.
“Aina aku mau bicara” suara mas Widi
dari belakang membangunkan aku dari lamunan yang terbang melayang ini, segera
ku usap air mataku.
“Untuk memaksaku lagi mas? Jawabku
dengan nada yang kesal.
“Tolong Aina, kamu jangan egois apa
kamu tidak pernah memikirkan perasaan suamimu itu?”
“Sakit rasanya hati dan ragaku, aku
ingin menjadi perempuan sempurna yang lengkap mas.” Aku menangis lagi seolah
tak ada daya menghentikannya.
“Tidak ada yang sempurna di dunia ini sayang,,,, harga
diri apa yang kamu perjuangkan. Dengan membantah apa kata suamimu Ai ii yang
namanya harga diri?. Ini demi kebaikan kamu juga, dan okey setidaknya kamu
lakukan ini untuk suamimu dan orang tuamu.”
“Aku
ingin mengandung dan melahirkan anak kita mas, ingin merasakan menjadi ibu
menyusui anak dan mebesarkannya.”
“Kamu tahu begitu banyak wanita
diluar sana Ai,,,,,,,, mereka yang kamu anggap sempurna memiliki rahim dan
menjai ibu tapi apa yang mereka lakukan?” aku menjadi sangat pilu mendengar
ucapan mas widi.”Mereka tak peduli dengan suami mereka tak mengurus
anak-anaknya meninggalkan kewajibanya sebagai ibu rumah tangga yang ada dalam
benak mereka hanya karier karier dan karier terlebih mereka yang mengumbar
keindahan tubuhnya, apa itu yang dinamakan perempuan dengan harga diri
perempuan yang menjalankan kodratnya?.”
Kata-kata dari mas Widi sore tadi
terus saja mengusikku sampai dalam mimpi malamku. Hingga tengah malam aku
terbangun dari tidurku, kulihat suamiku tidur pulas disampingnya masih ada buku
bacaan yang masih terbuka. Kulirik jam dinding tepat pukul 01.00, gelisah hatiku
membawaku datang padaNya. Dan malam itu aku bagai mendapat jalan terang akan
kegelisahanku ini, seakan datang rasa sejuk dan damai saat satu jalan aku ambil
dengan kepasrahan.
Setelah keyakinan membawaku pada
meja operasi yang akhirnya aku lalui hidupku memang telah berubah. Setahun
setelah peristiwa itu berlalu aku tetap menjadi seorang perempuan yang
sempurna, perempuan yang bisa menempatkan dirinya sebagai seorang perempuan.
Aku bahagia dengan keluarga kecilku sekarang, tangis bayi
yang menghiasi dari seorang bayi laki-laki yang aku adopsi. Akbar Naufal Islami
menjadikan pelengkap rumah tangga kami. Sekarang aku dipanggil ibu dan ini
peranku sebagai perempuan yang akan membesarkan anak-anaknya dengan kasih
sayang. Aku tetap perempuan yang menempatkan diri pada kodratnya. Suamiku
adalah surgaku.
0 komentar: (+add yours?)
Posting Komentar